Daftar isi
Pengertian Ijtihad
Pengertian Ijtihad – Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau “pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73)
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 75)
Dalil Hukum Ijtihad
Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :
Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“…Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad.
Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
Baca juga: Apa Saja Doa Setelah Sholat Fardhu?
Al-Hadits
Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163)
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Ijmak
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal.
Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad. (Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100)
Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :
- Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
- Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya. (Zairif, Fungsi Ijtihad, Online),
Baca juga: Hukum Pernikahan Menurut Agama Islam
Objek Ijtihad
Adapun lapangan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah :
- Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
- Lapangan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi dhanni pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan Hadits juga : Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
- Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi qat’I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga lapangan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.
- Lapangan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada lapangan-lapangan lain.
Syarat Ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu , dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi.
- Pertama
mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
- Kedua
mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.
- Ketiga
mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik.
- Keempat
mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula .
- Kelima
mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.
Kedudukan Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :
- Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
- Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.
- Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad.
Macam-macam Ijtihad
Secara garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
Ijtihad Fardhi
Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara ( Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
Ijtihad Jami’i
Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 )
Ijtihad semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan orang-orang yang saleh.”
Baca juga: Syarat Wajib Haji dengan Penjelasan Secara Lengkap
Syarat – syarat Mujtahid
- Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan denagn hokum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala.
- Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan cara berfikir dengan benar.
- Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
- Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu.
- Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
- Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud.
- Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf.
Jenis Bentuk Ijtihad
Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Contoh Ijtihad
Salah satu contoh ijtihad yang sering dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan I Syawal, disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen masing-masing untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Masing-masing ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan ditentukanlah 1 Syawal itu.
Contoh lain adalah tentang bayi tabung, pada zamannya Rasulullah bayi tabung belum ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburan jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh) karena hal ini merupakan Ikhtiar yang berdasarkan agama. Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari suami isteri yang menitipkan ke rahim perempuan lain, jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari terutama soal warisan.
Dalam Islam anak yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari hasil titipan tersebut? Dikandung tapi bukan milik sendiri, jadi hanya sekedar pinjam tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
Tinggalkan Balasan