Pengertian Tanah: Komponen, dan Fungsinya – Interaksi antara faktor-faktor pembentukan tanah akan menghasilkan tanah dengan memiliki sifat-sifat yang sangat berbeda. Berdasarkan pada faktor pembentuk dan sifat tanah inilah beberapa ahli mengklasifikasikan tanah dengan klasifikasi yang berbeda.
Daftar isi
Pengertian Tanah
Tanah berasal dari bahasa Yunani yaitu pedon, bahasa Latin yaitu solum. Tanah adalah bagian kerak Bumi yang tersusun dari mineral dan bahan organik.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di Bumi karena tanah mendukung kehidupan yang menyediakan unsure hara dan air sekaligus penopang akar. Struktur tanah yang beronga-ronggayang menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah yang menjadi habitat tempat hidup berbagai mikroorganisme bagi sebagian besar hewan darat. Tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerek.
Tanah merupakan anugrah dari yang maha kuasa. Di tanah bisa tumbuh berbagai macam tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup. Tanah terbentuk dari akibat perubahan cuaca dan aktifitas berbagai mahluk hidup diatasnya seperti hewan dan tumbuahan. Tanah merupakan campuran dari berbagai mineral, bahan-bahan organik, air dan udara.
Baca juga: Pengertian Denudasi, Faktor, Proses dan Dampaknya
Proses Terbentuknya Tanah
Batuan-batuan induk (bedrock-R Horizon) terpecah menjadi menjadi bagian-bagian kecil akibat perubahan cuaca . Di pecahan-pecahan mineral ini tumbuh lumut sehingga air dapat meresap ke bebatuan sehingga lambat laun akan terbentuk tanah muda.
Lumut dan tanah pun tumbuh membentuk lapisan serasah organik. Dan akhirnya tanah matang pun terbentuk dari campuran berbagai bahan organik dan bahan-bahan mineral.
Menurut Gedroits (1955) ada dua tingkatan pembentuk agregat tanah, yaitu:
- Kaogulasi koloid tanah (pengaruh Ca2+) kedalam agregat tanah mikro
- Sementasi (pengikat) agregat mikro kedalam agregat makro.
Teori pembentukan tanah berdasarkan flokulasi dapat terjadi pada tanah yang berada dalam larutan, misal pada tanah yang agregatnya telah dihancurkan oleh air hujan atau pada tanah sawah. Menurut utomo dan Dexter (1982) menyatakan bahwa retakan terjadi karena pembengkakan dan pengerutan sebagai akibat dari pembasahan dan pengeringan yang berperan penting dalam pembentukan agregat.
Dapat diambil kesimpulan bahwa agregat tanah terbentuk sebagai akibat adanya interaksi dari butiran tunggal, liat, oksioda besi/ almunium dan bahan organik. Agregat yang baik terbentuk karena flokuasi maupun oleh terjadinya retakan tanah yang kemudian dimantapkan oleh pengikat (sementasi) yang terjadi secara kimia atau adanya aktifitas biologi.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan agregat.
- Bahan Induk
Variasi penyusun tanah tersebut mempengaruhi pembentukan agregat-agregat tanah serta kemantapan yang terbentuk. Kandungan liat menentukan dalam pembentukan agregat, karena liat berfungsi sebagai pengikat yang diabsorbsi pada permukaan butiran pasir dan setelah dihidrasi tingkat reversiblenya sangat lambat. Kandungan liat > 30% akan berpengaruh terhadap agregasi, sedangakan kandungan liat < 30% tidak berpengaruh terhadap agregasi.
- Bahan organik tanah
Bahan organik tanah merupakan bahan pengikat setelah mengalami pencucian. Pencucian tersebut dipercepat dengan adanya organisme tanah. Sehingga bahan organik dan organisme di dalam tanah saling berhubungan erat. - Tanaman
Tanaman pada suatu wilayah dapat membantu pembentukan agregat yang mantap. Akar tanaman dapat menembus tanah dan membentuk celah-celah. Disamping itu dengan adanya tekanan akar, maka butir-butir tanah semakin melekat dan padat. Selain itu celah-celah tersebut dapat terbentuk dari air yang diserp oleh tnaman tesebut. - Organisme tanah
Organisme tanah dapat mempercepat terbentuknya agregat. Selain itu juga mampu berperan langsung dengan membuat lubang dan menggemburkna tanaman.Secara tidak langsung merombak sisa-sisa tanaman yang setelah dipergunakan akan dikeluarlan lagi menjadi bahan pengikat tanah. - Waktu
Waktu menentukan semua faktor pembentuk tanah berjalan. Semakin lama waktu berjalan, maka agregat yang terbentuk pada tanah tersebut semakin mantap. - Iklim
Iklim berpengaruh terhadap proses pengeringan, pembasahan, pembekuan, pencairan. Iklim merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan agregat tanah.
Komponen Utama Tanah
Komponen utama tanah terdiri dari 4 macam ,diantaranya sebagai berikut :
- Bahan mineral
Berasal dari pelapukan batuan yang susunan mineralnya bervariasi tergantung sumber batuan yang melapuk. Mineral merupakan kumouan dari kristal-kristal hasil suatu persenyawaan yang mempunyai bentuk tertentu sebagai hasil reaksi antar dua atau lebih unsur-unsur kimia kulit bumi.
- Bahan organic
- umumnya terdapat di permukaan tanah ,karena berasal dari tumbuhan dan hewan.
- Sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah dan pertumbuhan tanah.
- Air
Air terdapat di dalam tanah karena beberapa hal, diantaranya:
- Diserap oleh masa tanah
- Tertahan oleh lapisan kedap air
- Terikat di dalam pori-pori tanah dengan gaya ikat atau keadaan drainase yang kurang
- Udara
Uadara dan air mengisi pori-pori tanah, banyaknya pori-poti tanah kurang lebih 50% dari volume tanah.
Susunan udara di balam tanah adalah sebagai berikut;
- Kandungan uap air lebih tinggi dibandingkan udara tanah yang lembab mempunyai udara dengan kelembaban nisbi.
- Kandungan CO2 lebih besar dari atmosfer (<0,03%)
- Kandungan O2 lebih kecil dari pada di atmosfer . hal ini karena kegiatan dekomposisi bahan organic atau pernafasan organism hidup di dalamtanah dan akar-akar tanaman mengambil O2dan melepaskan CO2.
Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961)[1] yang masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan 1982.
Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
Dalam jenis dan sifat tanah sangat bervariasi, hal ini ditentukan oleh perbandingan banyaknya fraksi-fraksi (kerikil, pasir, lanau dan lempung), sifat plastisitas butir halus. Klasifikasi bermaksud membagi tanah menjadi beberapa golongan tanah dengan kondisi dan sifat yang mirip diberi simbul nama yang sama. Ada 2 cara klasifikasi yang umum yang digunakan:
- cara UNIFIED
- cara AASHTO
- Klasifikasi menurut sistem UNIFIED
Setiap tanah diberi simbul dua hurup, dan dari simbul tersebut dapat diketahui jenisnya dan sifatnya.
Hurup pertama menunjukkan jenisnya, misal
G = kerikil (gravel)
S = pasir (sand)
M = lanau (silt)
C = lempung (clay)
O = tanah organik
Huruf kedua menunjukkan sifatnya
W = bergradasi baik (well graded)
P = bergradasi jelek (poorly graded)
M = mengandung lanau
C = mengandung lempung
L = bersifat plastis rendah (low plasticity)
H = bersifat plastis tinggi (high plasticity)
Sifat Index (sifat general) yang digunakan untuk mengklasifikasikan tanah adalah :
- Perbandingan buttir kasar dan butir halus, banyaknya fraksi kerikil dan pasir.
- Gradasi tanah (Cu dan Co).
- Batas konsistensi tanah butir halus (WL dan IP).
- Sifat organik tanah.
Tanah dibagiatas 3 kelompok besar :
- Tanah organik jika tampak organik misal humus dan gambut. Langsung diberi simbul
Pt (plat), - Tanah berbutir halus. Jika butir halusnya lebih banyak dari butir kasarnya, (dari diagram
gradasinya atau dilihat di lapangan), - Tanah berbutir kasar, jika butir kasarnya lebih banyak dari butir halusnya (lihat batas ukuran butir halus dan butir kasar). Tanah butir halus dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu tanah butir halus yang sifat plastisnya rendah (WL < 50 %, dan yang sifat plastisnya tinggi (WL > 50%). Tanah butir kasar juga di bagi menjadi dua bagian yaitu kelompok kerikil jika butir kasarnya fraksi kerikilnya lebih besar dari fraksi pasir (G). Dan yang kedua adalah pasir, jika fraksi pasirnya lebih besar dari fraksi kerikil (S).
Simbul tanah butir halus ditetapkan dengan menggunakan diagram plastisitas Casagrade didapat CH, MH, OH, CL, ML, OL. Dengan data WL dan IP diplotkan dalam diagram, (alu dilihat secara analisis WL < 50% atau WL > 50%. Kemudian dihitung IP batas = 0.73(1VL – 20). jika IP > Ip batas berarti diatas garis A dan sebaliknya. Untuk tanah kasar Disini ada 3 emungkinan pertama bersih bila fraksi halusnya < 5%, kedua dianggap campuran jika fraksi halusnya >12% dan ketiga peralian jika fraksi halusnya antara 5 -12%.
- Tanah butir kasar bersih (fraksi halus < 5%), tanah butir kasar yang bersih ini disebut punya gradasi baik jika Cu > 4 dan 1 < cc < 3 untuk pasir dan Cu > 6 dan 1 < Cc < 6, dan disebut poorly graded (simbul P) jika tidak dipenuhi salah satu kriteria diatas.
- Jika tidak bersih (fraksihalus >12%), tanh ini tidak perlu dicari Cu dan Cc, fraksi halus dipisahkan dan dicari batas-bats konsistensinya (WL dan WP), selanjutnya dilihat pada diagram casagrade. Jika diatas garis A berarti fraksi halusnya lempung, (di dapat tailah GC dan SC) bial dibawah garis A berarti lanau maka diperoleh tanah GM dan SM; 3. Jika fraksi halus antara 5% -12%. Pada tanah ini diberikan simbul ganda. Untuk menetapkan W atau P harus dilihat dulu Cu dan Cc. Untuk menetapkan apakah termasuk keluargaC atau M maka perlu diperiksa WL atau IP, maka kemungkinan simbul GW-GC, GW-GM, GP-GC, GP-GM, SW-SC, SW-SM, SP-SC, SP-SM.
Tanah butir halus juga dapat diberi simbul ganda misal CL – ML, jika pada diagram casagrade terletak diatas garis Adan nilai IP nya antara 4 – 7.
- Klasifikasi menurut AASHTO
- umumnya digunakan pada pondasi-pondasi jalan raya: subgrade,base, sub- base.
- mengklasifikasi tanah dalam 7 kelompok (yaitu dari A-1sampai A-7) dan didasarkan pada daimeter butiran batas-batas attererg
- kelompok A-1 sampai A-3 adalah tanah granuler, sedang kelompok A-4 sampai A-7 adalah kelompok tanah lempung yang lolos saringanno.200
- kelompok-kelompok ini dievaluasi dengan menggunakan persamaan yang disebut indeks klompok (Grup indeks,GI)
Sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo
Taksonomi tanah berdasarkan sistem Dudal-Soepraptohardjo mendasarkan pada penampilan profil tanah dan sejumlah ciri-ciri fisika dan kimia. Dasar sistem ini adalah dari Rudi Dudal, ahli tanah dari Belgia, yang dimodifikasi untuk situasi Indonesia oleh M. Soepraptohardjo. Sistem ini disukai oleh pekerja lapangan pertanian karena mudah untuk diterapkan di lapangan. Versi aslinya dirilis pada tahun 1957. Modifikasinya dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1978 dan 1982. Sistem ini (dan modifikasinya) berlaku khusus untuk Indonesia, dengan mengadopsi beberapa sistem internasional, khususnya dalam penamaan dan pemberian kriteria.
Di Indonesia, sejak tahun 1975 dikenal dengan tiga (3) sistem klasifikasi tanah yang banyak digunakan oleh Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Dinas Teknis dan Teknisi di lapangan, yaitu : (1) Sistem Klasifikasi Tanah Nasional (Dudal & Soepraptohardjo, 1957; Soepraptohardjo, 1961), (2) Sistem Klasifikasi Tanah Internasional, dikenal sebagai Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy, USDA, 1975; 2003), dan (3) Sistem FAO/UNESCO (1974). Namun dalam perkembangan penggunaannya, Sistem Taksonomi Tanah sejak tahun 1988 lebih banyak digunakan, terutama oleh para peneliti dari Lembaga Penelitian Tanah (sekarang Balai Besai Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian) dan Perguruan Tinggi sesuai dengan hasil keputusan Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Sementara itu, Sistem Klasifiaski Tanah Nasional sudah hampir ditinggalkan penggunaannya. Walupun demikian, sistem tersebut masih eksis dan masih banyak digunakan terutama oleh para pengambil kebijakan dan praktisi lapangan di daerah.
Keberadaan Sistem Klasifikasi Tanah Nasional merupakan ciri budaya bangsa dan menjadi tolok ukur tingkat perkembangan dan penguasaan teknologi tanah di suatu negara. Sistem nasional ini perlu dimiliki oleh setiap bangsa dan negara serta harus terus menerus dikembangkan sesuai dengan perkembangan IPTEK tanah (Dr D Subardja, M.Sc., peneliti di Kelti Genesis dan Klasifikasi Tanah, pada siaran di RPC tanggal 15 April 2009).
Jenis – Jenis Tanah
Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Interaksi antara faktor-faktor pembentuk tanah akan menghasilkan tanah dengan sifat-sifat yang berbeda. Berdasarkan pada faktor pembentuk dan sifat tanah inilah, beberapa ahli mengklasifikasikan tanah dengan klasifikasi yang berbeda. Tingkat kategori yang sudah banyak dikembangkan dalam survei dan pemetaan tanah di Indonesia, yaitu tingkat kategori jenis (great soil group). Klasifikasi jenis-jenis tanah pada tingkat tersebut sering digunakan untuk mengelompokkan tanah di Indonesia
Baca juga: Pengertian Cuaca dan Iklim di Indonesia
Tanah Humus
Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.
Tanah Pasir
Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.
Tanah Alluvial / Tanah Endapan
Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.
halus yang diendapkan oleh aliran sungai. Oleh karena itu, tanah jenis ini banyak terdapat di daerah datar sepanjang aliran sungai.
Tanah Podzolit
Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.
Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi
Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.
Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.
Tanah Mediteran / Tanah Kapur
Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tanah Gambut / Tanah Organosol
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Tanah jenis ini berasal dari bahan induk organik dari hutan rawa, mempunyai ciri warna cokelat hingga kehitaman, tekstur debulempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat sampai dengan agak lekat, dan kandungan unsur hara rendah. Tanah ini terbentuk karena adanya proses pembusukan dari sisa-sisa tumbuhan rawa. Banyak terdapat di rawa Sumatra, Kalimantan, dan Papua, kurang baik untuk pertanian maupun perkebunan karena derajat keasaman tinggi.
Tanah Regosol
Tanah ini merupakan endapan abu vulkanik baru yang memiliki butir kasar. Penyebaran terutama pada daerah lereng gunung api. Tanah ini banyak terdapat di daerah Sumatra bagian timur dan barat, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Tanah Litosol
Tanah litosol merupakan jenis tanah berbatu-batu dengan lapisan tanah yang tidak begitu tebal. Bahannya berasal dari jenis batuan beku yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini banyak ditemukan di lereng gunung dan pegunungan di seluruh Indonesia.
Litosol tersebar di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 mm/tahun, dan ketinggian tempat berkisar 300–1.000 meter. Tanah ini terbentuk dari batuan gunung api kemudian mengalami proses pelapukan lanjut.
Tanah Grumusul
Jenis ini berasal dari batu kapur, batuan lempung, tersebar di daerah iklim subhumid atau subarid, dan curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun.
Tanah Podsolik
Tanah ini berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering, curah hujan lebih 2.500 mm/ tahun. Tekstur lempung hingga berpasir, kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering.
Tanah Podsol
Jenis tanah ini berasal dari batuan induk pasir. Penyebaran di daerah beriklim basah, topografi pegunungan, misalnya di daerah Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Papua Barat. Kesuburan tanah rendah
Tanah Andosol
Tanah jenis ini berasal dari bahan induk abu vulkan. Penyebaran di daerah beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2.500 mm/ tahun tanpa bulan kering. Umumnya dijumpai di daerah lereng atas kerucut vulkan pada ketinggian di atas 800 meter. Warna tanah jenis ini umumnya cokelat, abu-abu hingga hitam.
Tanah Mediteran Merah Kuning
Tanah jenis ini berasal dari batuan kapur keras (limestone). Penyebaran di daerah beriklim subhumid, topografi karst dan lereng vulkan dengan ketinggian di bawah 400 m. Warna tanah cokelat hingga merah. Khusus tanah mediteran merah kuning di daerah topografi karst disebut ”Terra Rossa”.
Hidromorf Kelabu
Jenis tanah ini perkembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor lokal yaitu topografi yang berupa dataran rendah atau cekungan, hampir selalu tergenang air, dan warna kelabu hingga kekuningan.
Proses Pembentukan Tanah
Proses pembentukan tanah diawali dari pelapukan batuan, baik pelapukan fisik maupun pelapukan kimia. Dari proses pelapukan ini, batuan akan menjadi lunak dan berubah komposisinya. Pada tahap ini batuan yang lapuk belum dikatakan sebagai tanah, tetapi sebagai bahan tanah (regolith) karena masih menunjukkan struktur batuan induk.
Proses pelapukan terus berlangsung hingga akhirnya bahan induk tanah berubah menjadi tanah. Nah, proses pelapukan ini menjadi awal terbentuknya tanah. Sehingga faktor yang mendorong pelapukan juga berperan dalam pembentukan tanah.
Curah hujan dan sinar matahari berperan penting dalam proses pelapukan fisik, kedua faktor tersebut merupakan komponen iklim. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor pembentuk tanah adalah iklim. Ada beberapa faktor lain yang memengaruhi proses pembentukan tanah, yaitu organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
Tinggalkan Balasan